Kamis, 08 April 2010

Juru Damai Saudara Serumpun (Des Alwi)

TEMPO - Obituari, Juru Damai Saudara Serumpun (Des Alwi)
Edisi. 39/XXXVI/19 - 25 November 2007

Juru Damai Saudara Serumpun

Dia dikenal sebagai anak angkat dua tokoh kenamaan pendiri republik: Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Mereka bertemu di Banda Naira —pulau penghasil pala yang amat terkenal di masa kolonial— saat kedua founding fathers itu menjadi orang buangan. Pergaulan dengan para tokoh republiken sejak masa kanak-kanak membuatnya menjadi seorang nasionalis.

November tahun ini, tepatnya tanggal 17 lalu, Des Alwi genap berusia 80 tahun. Perjalanan hidupnya begitu berwarna. Salah satu yang terpenting adalah ketika ia ikut merajut kembali hubungan Indonesia-Malaysia. Ia menuturkan kepada Maria Hasu­gi­an dari Tempo, betapa jalinan persahabatan dengan sejumlah petinggi Malaysia, yang disebut "The Malay College Connection," menjadi kunci normalisasi hubungan kedua negara serumpun itu.

SATU sore di bulan Juli 1965. Saya sedang berada di Bangkok, Thailand, dan baru saja hendak menuju Selandia Baru untuk menjenguk Sutan Sjahrir. Ayah angkat saya itu menderita stroke parah dan dirawat di sana. Mendadak datang kabar dari Kostrad bahwa Pak Ali Moertopo dan Pak Daan Mogot mencari saya. Mereka meminta bertemu di Bangkok. Ada pesan penting yang akan mereka sampaikan. Begitu kata orang suruhan Pak Ali.

Saya pun batal ke Selandia Baru. Setelah sempat baku cari dengan mereka, kami akhirnya bertemu. Pak Ali mengatakan bahwa Pak Harto, Wakil Panglima I Kolaga (Komando Mandala Siaga), meminta saya ikut dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia. "You disuruh jadi penghubung. Pak Harto bilang, you bisa langsung berhubungan dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia." Ali Moertopo waktu itu menjadi Komandan Operasi Khusus dengan pangkat letnan kolonel.

Tanpa membuang-buang waktu, saya langsung menghubungi teman-teman di Malaysia secara rahasia. Kebetulan mereka sudah menjadi pejabat penting. Tun Abdul Razak adalah wakil perdana menteri, Tunku Abdul Rahman perdana menteri, dan Tan Sri Ghazali Shafei kepala intelijen.

Saat itu saya juga masih tinggal di Malaysia atas kebaikan hati Tun Abdul Razak. Saya menetap di sana setelah dituduh mendukung pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Saya diberi tahu jika pulang pasti ditangkap. Razak kemudian meminta saya tinggal di Malaysia.

Setelah menghubungi teman-teman lama itu, saya mengatur pertemuan untuk memastikan mereka bersedia berdamai. Ternyata mereka menyambut dengan antusias penyelesaian damai untuk mengakhiri konfrontasi. Sayang, terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, sehingga pendekatan-pendekatan yang kami lakukan terganggu.

Peristiwa G-30-S yang menewaskan Pak Yani serta lima jenderal dan seorang letnan itu membuat situasi politik dalam negeri carut-marut. Setelah kekacauan dapat diatasi, Pak Harto sebagai Panglima Kostrad berinisiatif melanjutkan kerja Pak Yani untuk berdamai dengan Malaysia. Memang, sebelum Pak Harto, Pak Yani sudah merintis jalan mengakhiri konfrontasi. Ia sempat mengirim tim dalam operasi khusus dan rahasia.

Lantaran kecewa atas terjadinya konfrontasi, ketika itu warga Malaysia, khususnya etnis Melayu, sudah mencopoti foto-foto Soekarno. Saya mengerti perasaan mereka. Padahal, sebelum konfrontasi, mereka begitu mengagumi dan memuja sosok Soekarno. Sampai-sampai mereka menempelkan foto-foto Soekarno di dinding rumah.

Pada operasi khusus pertama yang diprakarsai Pak Yani, saya tidak masuk dalam tim. Saya hanya membantu melakukan pendekatan dengan teman-teman di Malaysia. Kontak pertama Malaysia dengan Indonesia berlangsung di Kuala Lumpur pada awal 1965. Utusan Malaysia diwakili Tan Sri Ghazali Shafei, Kepala Intelijen Malaysia. Dari Indonesia diwakili Kolonel Soekendro dan Syarnubi Said. Pertemuan itu masih bersifat penjajakan saja.

Terbunuhnya Pak Yani dalam peristiwa Gestapu (sebutan lain untuk G-30-S) membuat operasi khusus ini dilanjutkan Pak Harto. Operasi ini semula tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Pihak Malaysia makin antusias mengakhiri konfrontasi setelah menyaksikan perubahan situasi politik Indonesia akibat peristiwa Gestapu. Soekarno dipastikan akan turun dari puncak kekuasaannya sebagai presiden.

Pak Harto sudah lama tahu saya dekat dengan sejumlah pejabat tinggi Malaysia. Saya bersahabat dengan Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Tan Sri Ghazali Shafei sejak sama-sama kuliah di Inggris pada 1947 (lihat Persahabatan Sepanjang Musim).

Saya juga pernah memperkenalkan Tun Abdul Razak kepada Pak Harto pada 1948 di Yogyakarta. Waktu itu liburan kuliah dan saya mengajak Razak ke Indonesia. Pak Harto saat itu masih berpangkat mayor. Kami punya semangat sama: antikolonial.

Operasi khusus dan rahasia itu akhirnya bocor juga ke telinga Presiden Soekarno. Saya tahu pembocor rahasia itu tak lain Soekendro. Saya tidak bisa melupakan sosok yang satu ini. Soekendro is a Subandrio's man. Subandrio mendukung habis kebijakan Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia.

Sewaktu Pak Yani mengirim tim dalam operasi khusus ke Malaysia, Presiden Soekarno ternyata telah mengetahuinya. Soekarno pun bilang, "Awas itu jenderal-jenderal dagangan dan petualangan Des Alwi. Tidak ada approach-approach dari kita terhadap Malaysia." Gila nggak, dia bilang begitu.

Sebelumnya, saya sudah memberi tahu Pak Yani agar berhati-hati pada orang ini. Soekendro pintar dan tukang gunting. Waktu Gestapu, dia ada di Peking, RRC, tapi lewat Bangkok dia melakukan pendekatan dengan Malaysia untuk menyelesaikan konfrontasi. Soekendro malah meminta bantuan ke Malaysia. Saya bilang ke Pak Harto yang waktu itu menjabat Wakil Panglima I Kolaga, "gunting saja, bantuan ini nanti juga buat dia sendiri."

Dalam operasi khusus yang dipimpin Pak Ali Moertopo, tugas saya terus melakukan lobi, terutama dengan Tun Abdul Razak dan Tan Sri Ghazali Shafei. Pertemuan-pertemuan intens pun dilakukan. Pada 21 Mei 1966, pesawat Hercules milik Angkatan Udara Republik Indonesia mendarat di bandara internasional Subang, Kuala Lumpur. Dari dalam pesawat muncul utusan Indonesia: Pak Ali bersama, antara lain, Laksamana Muda O.B. Syaaf, Kolonel Yoga Sugomo, Brigjen Kemal Idris, Letkol Sofyar, Letkol Tjokropranolo, serta beberapa petugas lainnya. Mereka disambut Tun Abdul Razak, Tan Sri Ghazali dan beberapa stafnya. Inilah pertemuan resmi pertama sebagai hasil pertemuan-pertemuan rahasia itu. Kedua utusan sepakat maju ke meja perundingan.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Kedah, Malaysia Utara, dengan pesawat yang sama. Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman yang sedang cuti di kampungnya menyambut kedatangan kami dengan keramahan khas Melayu. Tunku berharap perundingan dapat secepatnya dilaksanakan untuk mengakhiri konfrontasi.

Pertemuan dilanjutkan di Bangkok pada Mei 1966. Tun Abdul Razak disambut Pak Harto, Menteri Luar Negeri Adam Malik, Dr J. Leimena, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah itu kami mengundang Tun Abdul Razak ke istana negara. Presiden Soekarno menerimanya sebagai tamu negara. Meski suasana kedua negara masih tegang, selama pertemuan itu tidak ada kesan kaku. Ada peristiwa menarik, Presiden Soekarno menawarkan kue onde-onde dan klepon, kepada Tun Abdul Razak. Kue ini makanan khas Indonesia yang menjadi menu wajib istana untuk tamu negara. Suasana semakin akrab. Saya hanya tersenyum saja menyaksikan.

Dari pertemuan kenegaraan ini, saya percaya jalan perundingan damai kian terbuka lebar. Pak Harto pun menunjuk Menteri Luar Negeri Adam Malik mewakili pemerintah Indonesia dalam pertemuan puncak mengakhiri konfrontasi dengan negara serumpun.

Tepat pukul 12.00 waktu Bangkok, Kamis 11 Agustus 1966, Tun Abdul Razak dan Adam Malik menandatangani perjanjian damai. Pak Harto berdiri di belakang mereka berdua menyaksikan penandatanganan itu. Secara resmi konfrontasi Malaysia-Indonesia pun berakhir dan hubungan kedua negara serumpun terbuka kembali.

Perundingan sempat alot karena Soekarno menuntut Malaysia menggelar pemungutan suara dari penduduk Serawak dan Sabah tentang sikap mereka, tetap bergabung dengan Malaysia atau dengan Indonesia. Soekarno memutuskan konfrontasi dengan Malaysia, sebenarnya, untuk kepentingan memperluas kekuatan komunis hingga ke wilayah Sabah dan Serawak. Tuntutan pemungutan suara itu disetujui pemerintah Malaysia, dan penduduk Serawak dan Sabah memilih tetap bergabung dengan Malaysia.

Proses perdamaian ini membuat Soekendro jengkel. Ia tampaknya iri pada saya karena ring saya yang jalan. Nah, ketika saya berjalan-jalan dengan Tun Abdul Razak, sehari sebelum penandatanganan perjanjian damai, Soekendro memerintahkan agar saya ditangkap, tapi niat buruknya itu tidak kesampaian.

Sebenarnya bibit konfrontasi sudah muncul pada akhir 1949. Ketika itu Ratu Juliana menyerahkan soal penyelesaian damai Belanda-Indonesia ke Perdana Menteri Mohammad Hatta. Keputusan ini disambut hangat oleh masyarakat Indonesia dan juga mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Malay Society di Inggris. Tapi, saat perayaan kembalinya kemerdekaan Indonesia diadakan di London, Subandrio tidak mengundang sahabat-sahabat saya itu. Saya tidak mengetahui alasan Subandrio. Padahal, sahabat-sahabat saya asal Malaya itu telah banyak membantu mencarikan dana untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Suatu hari pada 1957, saya menerima undangan untuk menghadiri perayaan kemerdekaan Federasi Malaya di Kuala Lumpur. Kebetulan saya bertemu dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Suwito Kusumowidagdo di Jakarta. Suwito marah besar karena saya meninggalkan pos saya di Manila tanpa permisi kepadanya. Ia memerintahkan saya kembali ke Manila.

Saya mencoba menemui Subandrio untuk meminta izin ke Kuala Lumpur memenuhi undangan pemerintah Malaysia. Ia menolak bertemu saya. Saat itu Subandrio marah besar kepada para pemimpin Federasi Malaya karena tidak memberikan suara atas perjuangan pembebasan Irian Barat di PBB. Bukannya Indonesia minta klarifikasi atas sikap negeri jirannya itu, eh, malah langsung menuduh Malaya boneka Inggris. Tapi saya memilih tetap terbang ke Kuala Lumpur.

Konfrontasi ini menimbulkan friksi tajam di tubuh TNI antara yang mendukung (pro Soekarno) dan yang menolak (pro Pak Yani dan Pak Harto). Soekarno sendiri terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Pak Yani. Saya menilai ketegasan Pak Yani yang antikomunis dan tidak mau AD diintervensi kepentingan politik membuat ia dicap sebagai duri dalam daging. Saya pernah mendengar Soekarno memerintahkan penangkapan Yani. "Kalau sudah ditangkap, hadapkan ke saya."

Saya juga kesal kepada Soekarno seusai penandatanganan perjanjian damai dengan Malaysia. Penyebabnya, saat berpidato di depan DPR Gotong Royong untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-21, 16 Agustus 1966, ia masih memburuk-burukkan Malaysia dengan menyebut negara itu boneka imperalis Inggris.

Kemudian, ia masih meneriakkan tuntutannya agar pemilihan umum kembali digelar di Sabah dan Serawak untuk memastikan penduduk kedua daerah itu memilih Malaysia atau bergabung dengan Indonesia. Padahal, Malaysia sudah memastikan akan memenuhi tuntutan Soekarno itu. Kesannya jadi tidak baik.

Sebenarnya, kekesalan saya terhadap Soekarno sudah berlangsung lama. Dia menyingkirkan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan hanya dikasih kerjaan mengurusi koperasi. Keputusan penting sering tidak melibatkan Hatta. Makanya saya tidak ingin bertemu dia. Bahkan saat Tun Abdul Razak menjadi tamu Soekarno, saya tak mau bertemu dan menyapa dia. Barulah pada 1967 saya terpaksa menyapanya. Waktu itu kami melayat jenazah ibu Cipto Mangunkusumo yang meninggal dunia. Soekarno tiba-tiba menyapa saya, "Hei Des. Des ini nakal, tapi tidak jahat," kata Soekarno kepada J. Leimena yang juga datang melayat. Saya tertawa saja.

Ada satu hal yang mengganjal saya sampai sekarang setiap kali mengenang masa konfrontasi dulu. Begini. Di awal konfrontasi, pasukan tentara dan sukarelawan Indonesia diterjunkan secara diam-diam ke Malaysia. Nah, ada satu pesawat yang membawa pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Djamaluddin asal Gorontalo. Jumlah mereka sekitar 100 orang.

Nahas, pesawat itu jatuh di Laut Cina Selatan sewaktu menuju Malaysia. Sampai sekarang pemerintah menutupi kasus ini sehingga keluarganya tidak tahu bagaimana nasib mereka. Istri Djamaluddin pernah menanyakan nasib suaminya kepada saya. Dari dia saya tahu pemerintah tak kunjung menjelaskan nasib suaminya. Harusnya pemerintah bertanggung jawab atas nasib mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Bukan malah menutup-nutupi! Saya ingin pemerintah menjelaskan masalah ini kepada keluarganya.

Setelah konfrontasi dapat diakhiri, saya bernapas lega. Tugas saya tidak sia-sia, meski terkadang dalam beberapa hal saya diperlakukan tidak adil. Saya sempat hampir dibunuh karena iri, padahal saya berjuang untuk negara ini. Di Malaysia saya dituduh mata-mata Indonesia, bahkan saya sempat dilarang masuk ke negara itu.

Kemudian saya memutuskan membenahi kampung saya, Banda. Saya mengajak Bung Hatta, bapak angkat saya, membantu meningkatkan perekonomian di tanah kelahiran saya. Bersamaan dengan itu, persahabatan saya dengan Tun Abdul Razak, Tan Sri Ghazali Shafei, Tunku Abdul Rahman, dan sejumlah petinggi Malaysia berlanjut terus. Kami tetap saling bertukar informasi



Persahabatan Sepanjang Musim


Kedua ayah angkat saya, Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, amat memperhatikan urusan pendidikan. Mereka menginginkan saya melanjutkan sekolah hingga ke luar negeri setamat IVELO (STM) 1945. Setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati, Maret 1947, saya pun berangkat ke London, Inggris. Di sana saya masuk British Institute of Technology, Jurusan Rekayasa Suara. Kemudian saya mengambil Jurusan Sinematografi.

Di kota inilah awal mula saya berjumpa mahasiswa-mahasiswa asal semenanjung Malaya seperti Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Wan Daud, Taib Andak, dan Raja Muda Idris. Abdul Rahman ketika itu ambil Jurusan Kepengacaraan di Inner Temple. Sedangkan Razak belajar undang-undang di Lincoln's Inn. Saya kemudian tinggal sekamar dengan Razak, Taib, dan Idris di lantai bawah apartemen Court Fields Garden.

Saya, Razak, Wan Daud, dan Taib mendapat julukan Four Musketeers. Kami kerap bercanda dan yang menjadi sasaran selalu Abdul Rahman. Kami juga sering bertemu, bepergian, dan memasak bersama-sama. Saya biasanya membuat gado-gado.

Lantaran setiap bicara suara saya terdengar keras dan tubuh saya yang tinggi besar berguncang-guncang saat tertawa, seisi kamar merasa heboh. Razak menjuluki saya Ribut. Dalam bahasa Inggris, mereka menjuluki saya The Storm. Setiap saya tiba di kamar, Razak berseru dengan nada canda, "Ribut is here!" Seolah ia mengingatkan seisi kamar, siap-siap terjadi "keributan".

Satu malam menjelang akhir 1947 kami berdiskusi panjang. London waktu itu sedang dipeluk musim gugur. Kami mendengar Sutan Sjahrir baru saja pulang dari pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Sebagai utusan pemerintah Indonesia, Sjahrir sering diundang ke pertemuan-pertemuan internasional untuk meraih simpati dunia melawan agresi militer Belanda. Dia juga tokoh yang disegani di Asia saat itu.

Para mahasiswa asal Semenanjung Malaya, yang sedang berjuang memerdekakan negaranya dari penjajahan Inggris, begitu antusias untuk bertemu Sjahrir. Mereka tahu Sjahrir akan mampir ke London. Saya pun membantu mereka bertemu ayah angkat saya itu. Di kamar Hotel Claridges di Bond Street, London, mereka menemui Sjahrir.

Tunku Abdul Rahman dengan santun memperkenalkan diri sebagai Ketua Malay Society, organisasi sosial mahasiswa Semenanjung Malaya yang sekolah di Inggris. Razak wakilnya dan dua mahasiswa lain sebagai anggota. Tunku Abdul Rahman menuturkan, kedatangan mereka menemui Sjahrir untuk memberikan dukungan dan empati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Razak kemudian menjelaskan kekhawatirannya tentang gerilya anti-Inggris di negerinya bukan lagi perjuangan rakyat Melayu. Perjuangan anti-Inggris sudah diambil alih para pejuang komunis Cina yang ingin memperluas paham komunisnya di Malaya.

Sjahrir tertarik mendengar penjelasan Razak karena situasinya mirip di Indonesia. Menurut Razak, aktivis gerakan kiri mencoba menghancurkan Partai Sosialis yang ia pimpin. Pertemuan ini membekas bagi kami. "Kita sebaiknya saling kontak secara reguler," kata Sjahrir penuh harap. "Terbaik melalui Des Alwi."

Sejak itu kami menjadi sahabat sepanjang musim. Kawan saya dari negeri jiran bertambah setelah berkenalan dengan Tan Sri Ghazali Shafei, Tengku Mahkota Ahmad, Mohamed Sopiee, Kadir Samsudin, dan banyak lagi.

Pada 1948, London menggelar Olimpiade di Stadion Wembley. Kami menghadiri acara pembukaan dan menonton beberapa pertandingan. Saya diajak bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Malaya dalam permainan tenis dan hoki. Melalui mereka, saya berkenalan dan bersahabat dengan mahasiswa asal Singapura seperti "Harry" Lee Kuan Yew, Goh Keng Swee, Toh Chin Chye, Lee Kun Choy, dan Maurice Baker.

Di musim semi 1948, kami berkunjung ke Prancis, Belgia, Belanda, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Tujuannya membangun kontak dengan negara-negara Eropa untuk membantu perjuangan kemerdekaan kami. Ketika saya dan Razak di Belanda, secara bersamaan Hatta menghadiri perundingan di Den Haag. Razak menyatakan keinginannya bertemu Hatta. Ketika pertemuan terwujud, ia menuturkan kegiatan politik United Malays National Organisation (UMNO) yang didirikan Datuk Onn Jaafar. Menurut dia, gerakan nasionalisme semakin berkembang di semenanjung.

Setelah Razak kembali ke negaranya, awal 1950, dia tetap menunjukkan persahabatan yang tulus. Beberapa tahun kemudian, saya dituduh terlibat pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Saat itu saya menjadi Atase Pers dan Kebudayaan di Kedutaan Indonesia di Filipina.

Lantaran tuduhan itu, saya ke Jakarta untuk menandatangani surat pengunduran diri sebagai pegawai negeri Departemen Luar Negeri. Saya kecewa karena departemen membiarkan saya diserang oleh media-media komunis seperti Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Harian Rakyat yang menuduh saya pengkhianat.

Saya kemudian kembali ke Manila menjemput keluarga. Setibanya di sana, istri saya Anne dan anak-anak ternyata sudah menyusul ke Jakarta begitu mendengar pengunduran diri saya. Padahal, saya tidak lagi bisa ke Jakarta karena pasti ditangkap atas tuduhan mendukung pemberontakan Permesta.

Atas bantuan Razak, saya ke Kuala Lumpur dan tinggal di Federal Hill. Kemudian Razak meminta Kedutaan Federasi Malaya di Jakarta untuk mengurus visa bagi keluarga saya. Teman saya di Departemen Imigrasi membantu mengurusi paspor istri dan anak-anak saya karena ia bersimpati. Kami sekeluarga bertemu di Singapura, selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Eropa dan kemudian memilih menetap di Hong Kong.

Menjelang Idul Fitri 1961, saya teringat Razak dan bermaksud mengirim kartu ucapan Selamat Idul Fitri, tapi di Hong Kong tidak ada yang menjual kartu seperti itu. Sebagai gantinya saya membeli kartu ucapan Happy Chinese berwarna merah dan bertulisan huruf Mandarin. Razak menerima ratusan kartu ucapan Selamat Idul Fitri, namun ia heran, kok, ada satu kartu ucapan bentuknya aneh. Ia sempat membuang tapi kemudian memungutnya kembali. Dan, ia kaget setelah menemukan kata "Ribut dan keluarga" beralamat di Hong Kong.

Pria berdarah Bugis ini segera menghubungi saya. Ia mengungkapkan kekhawatiran serta perhatiannya setelah mendengar peristiwa yang saya alami. Razak yang sudah menjadi wakil perdana menteri kemudian menginstruksikan Taib Andak dan dokter pribadinya, Dr McPherson, menjemput saya dan keluarga di Hong Kong. Mereka berdua membawa kami ke Malaysia atas permintaan Razak.

Persahabatan saya dengan Razak menjadi bahan pembicaraan di parlemen Malaysia. Awal 1970, Partai Islam (PAS), oposisi UMNO, menuduh saya mata-mata asing. Dalam pikiran saya, tuduhan ini muncul karena mereka tak pernah tahu sejarah persahabatan kami berdua.

Menanggapi isu parlemen itu, Razak hanya berkata singkat, Des Alwi seorang pengusaha. Ia tak mau menjelaskan panjang lebar. "Saya butuh waktu 1.001 hari untuk menjelaskan tentang dirimu, Des," ujarnya kepada saya. Tapi, Tan Sri Khir Johari dari UMNO menanggapi Razak. "Jika saya ditanya parlemen mengenai Des Alwi, saya pasti katakan kepada parlemen yang terhormat bahwa dia adalah arsitek yang mengakhiri konfrontasi," kata Johari.

Selain dengan mahasiswa Malaya, saya juga berteman dekat dengan beberapa jurnalis Filipina. Salah satunya Benigno "Ninoy" Aquino yang bekerja di The Manila Times. Perkawanan itu terjadi saat saya ditempatkan sebagai Atase Pers dan Kebudayaan di Kedutaan Indonesia di Filipina. Saya mengajak Ninoy dan tiga jurnalis lainnya ke Manado menjelang meletusnya Permesta. Di sana mereka bertemu Ventje Sumual. Gara-gara ini saya dituduh mendukung pemberontakan Permesta.

Setelah Ferdinand Marcos jatuh dari kursi nomor satu di Filipina lewat People's Power, Corazon "Corry" Aquino, istri almarhum Ninoy, dipercaya menjadi presiden. Pemerintah Indonesia kurang memperhatikan faktor Corry sehingga sempat memberikan bantuan pesawat terbang kepada Marcos di akhir kekuasaannya dengan dalih membantu menumpas gerakan komunis.

Akibat peristiwa itu, hubungan Indonesia-Filipina agak terganggu. Saya kemudian ditugaskan melobi Corry. Hanya dengan menceritakan persahabatan saya dengan Ninoy, Corry bisa menerima Indonesia. Hubungan kedua negara pun pulih.
Saya juga berteman dekat dengan Pangeran Bernard dari Inggris serta menantu Ratu Inggris, Sarah Ferguson. Begitu pula dengan beberapa pejabat pemerintah Jepang. Persahabatan saya dengan mereka membantu saya memperkaya hobi saya: dokumentasi. Begitu kaya dan berwarna, persahabatan itu. Saya bersyukur dengan semua ini.


Dokumen, Film, dan Lupa

Sambil bersekolah di London, saya bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Inggris. Saya ditempatkan di bagian informasi di Knightsbridge pada 1953. Dari sini saya mulai mengenal kamera dan kemudian jatuh cinta pada dunia fotografi.

Kamera pertama yang saya miliki adalah Paillard Bolex 16 milimeter buatan Swiss. Selain itu, saya juga membeli kamera jenis lainnya. Kamera-kamera itu saya rawat dan sampai sekarang masih berfungsi baik.

Paillard Bolex 16 punya sejarah luar biasa bagi saya. Waktu Gunung Api di Pulau Banda meletus, saya sedang di pesawat menjemput sanak keluarga dari Ambon ke Banda Naira. Waktu itu subuh, 9 Mei 1988.

Begitu tahu Gunung Api meletus, saya "paksa" pilot terbang mengelilinginya. Saya potret gunung yang sedang menyemburkan lahar itu. Foto ini satu-satunya di dunia. BBC kemudian membeli foto eksklusif saya seharga US$ 25 ribu atau nilainya sekarang Rp 225 juta.

Suatu hari, 1993, Sarah Ferguson, menantu Ratu Inggris, main ke Banda bersama kedua anaknya. Saat itu ia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya, Pangeran Andrew. Saya memotret Sarah dan kedua anaknya. Media Inggris, seperti Sunday Mail, kemudian ramai-ramai menawar untuk membeli foto eksklusif itu, tapi saya memutuskan tidak menjualnya. Saya tidak mengkomersialkan foto-foto teman baik saya.

Pernah juga perusahaan rokok kretek Djarum, meminjam film dokumenter saya tentang pidato-pidato Mr. Suwiryo, tokoh PNI. Untuk sepotong film sejarah berdurasi satu menit itu mereka membayar Rp 50 juta.

Saya memang rajin mendokumentasikan dan memfilmkan peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Saya kurang puas dengan film produksi Pusat Film Nasional pada 1950-an. Film-film itu kurang bagus. Dari sisi editing, adegannya terlalu panjang-panjang dan sering ngawur.

Indonesia di masa itu nyaris tidak memiliki stok film dokumenter. Koleksi dokumentasi sejarah Pusat Film Nasional pernah dibakar karena di antara koleksinya ada film tentang aksi Partai Komunis Indonesia di Madiun 1948. Dalam peristiwa pembakaran itu, film tentang Mohammad Hatta yang pernah diasingkan ke Banda pada 1936 dan beberapa dokumen lainnya ikut dibakar.

Peristiwa pembakaran itu menyadarkan saya tentang perlunya dokumentasi. Saya pun bertekad mengumpulkan kembali dokumentasi-dokumentasi sejarah kita. Film-film dokumentasi Pusat Film Nasional yang tidak terawat itu saya kumpulkan.

Di keluarga besar saya ada kebiasaan untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting. Di buku yang saya tulis berjudul Bersama Hatta, Sjahrir, dr Tjipto, dan Iwa K. Sumantri di Banda Neira, 2002, sebagian besar foto di buku itu adalah koleksi saya dan Yayasan Warisan Budaya Banda Naira. Ambil contoh, foto Fomalhaut, kapal putih yang membawa Hatta dan Sjahrir ke Naira dari Digul, Februari 1936, foto keluarga besar saya, foto Pak Tjipto, Pak Sjahrir dan Pak Hatta, dan foto bersejarah lainnya.

Setelah konfrontasi dengan Malaysia selesai dan saya tidak lagi bekerja di Departemen Luar Negeri, saya semakin serius menekuni hobi baru mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting. Bahkan saya juga mulai menggarap film-film fiksi dan dokumenter.

Di awal 1970-an, saya memproduksi film fiksi Cucu, Gubernur Sehari, dan Tanah Gersang. Film berjudul Cucu garis besarnya bercerita tentang seorang anak cacat yang kehilangan orang tuanya akibat kecelakaan di Malaysia. Kemudian anak itu ditampung di satu asrama di negeri orang. Di akhir masa konfrontasi, akhirnya Cucu—nama anak cacat itu—bertemu neneknya yang tinggal di Banda. Namun, sang nenek meninggal ketika pertama kali bertemu cucunya itu. Malangnya, nyawa si Cucu terancam karena suami bibinya ingin menguasai harta peninggalan nenek yang diwariskan kepada si Cucu.

Film ini laku keras di Malaysia dan Indonesia. Tun Abdul Razak, Wakil Perdana Menteri Malaysia, ikut menonton preview film Cucu, yang produksinya dikerjakan bersama kedua negara serumpun. Razak sangat mendukung kerja saya. Film Cucu yang menelan biaya produksi US$ 30 ribu telah menghasilkan uang US$ 100 ribu. Cucu menjadi satu-satunya film fiksi saya yang meraup sukses. Saya kemudian memproduksi film detektif, tapi kalah bersaing dengan film-film silat yang mulai masuk ke Indonesia.

Pada 1977, saya mencoba membuat film semidokumenter seperti Mimpi Menjadi Gubernur Sehari. Film ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Jakarta, mulai dari rakyat jelata yang harus duduk di atap kereta api hingga orang yang buang hajat di Kali Gresik, kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Film semidokumenter untuk Bang Ali Sadikin—saat itu Gubernur Jakarta—itu juga tidak laku. Saya kemudian sepenuhnya terjun ke pembuatan film dokumenter. Ternyata dunia saya di sini. Film dokumenter pertama saya tentang akhir konfrontasi dengan Malaysia. Berikutnya Ambon Manise yang mendapat penghargaan di Asia Film Festival di Jakarta pada 1975. Setelah itu saya semakin produktif.

Kemudian saya membuat film dokumenter berjudul The Green Golden yang bercerita tentang penebangan hutan dan Wildlife yang berbicara tentang kehidupan binatang di kawasan Indonesia Timur. Film ini mendapat penghargaan dari WWF. Saya juga memproduksi film berjudul Batavia yang pengisi suaranya dilakukan oleh Benyamin Sueb.

Untuk merawat dokumen dan film-film itu, saya mendirikan Yayasan 10 November 1945 di Jalan Narada, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Saya memilih nama ini untuk memperingati perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika itu saya terluka oleh mortir Belanda yang diledakkan dekat mobil yang saya tumpangi saat di Wonokromo, Surabaya.

Serpihan mortir itu ternyata tertinggal di tubuh saya selama 62 tahun. Fakta ini baru saya ketahui setelah dokter di RS Mount Elizabeth, Singapura, hendak mengoperasi sehubungan dengan penyakit prostat saya, September lalu. Beberapa serpihan mortir ditemukan di tengkuk dan kaki saya. Mereka mengambil serpihan itu. Menurut dokter, masih banyak serpihan mortir yang tertinggal di tubuh saya. Sulit diambil karena terlalu kecil dan beredar di dalam darah.

Kendati didera penyakit, semangat saya untuk bekerja tak berkurang. Sebentar lagi saya akan merampungkan buku tentang masa-masa ketika saya dianggap sebagai pemberontak.

Di usia yang menginjak 80 tahun, satu-satunya yang membuat saya gusar sekaligus khawatir adalah saya semakin sering lupa. Saya gusar karena tidak ingin dokumentasi ini nanti jatuh ke tangan orang yang berniat mengubah jalannya sejarah untuk kepentingannya sendiri. Saya tidak mau dokumentasi ini disalahgunakan.

Saya tidak punya uang untuk merawat seluruh dokumen itu. Koleksi film saya ada 9 kilometer seluloid dan 5 kilometer film yang disimpan di Betacam dan DVD. Belum lagi surat-surat penting serta koleksi perangko dan meterai. Untuk merawat seluruh dokumen ini, saya butuh dana Rp 10 sampai Rp 11 miliar. Namun, sampai sekarang saya tak tahu dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu.

Sumber:
http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/9000